Rabu, 23 Desember 2009

Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur'an

Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an



A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan hak setiap manusia di dunia. Di Indonesia, hak tersebut telah tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. Undang-undang di negeri ini memberikan penjelasan yang negara memiliki kewajiban dalam memenuhi pendidikan setiap warganya. Terlepas dari bunyi undang-undang dasar tersebut, pendidikan sangat diperlukan manusia, agar secara fungsional manusia mampu memiliki kecerdasan (intelligence, spiritual, emotional) untuk menjalani kehidupannya dengan bertanggung jawab, baik secara pribadi, sosial, maupun profesional.
Namun demikian, transformasi pendidikan dianggap berjalan baik, jika pendidikan berperan secara profesional, kontekstual dan komprehensif. Untuk mencapai hal itu, kalangan sarjana pendidikan mengatakan bahwa perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) telah terpenuhi sebelumnya. Model pendidikan yang semacam inilah yang dianggap banyak kalangan sebagai upaya yang responsif terhadap perkembangan zaman. Dengan lain ungkapan, pendidikan dalam berbagai segi bertanggung jawab terhadap perubahan sosial dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang senantiasa terus berubah.
Dalam perspektif Islam, pengembangan ilmu pengetahuan merupakan keniscayaan, sehingga mengembangkan bidang keilmuan tidak boleh terlepas dari tata nilai Islam. Ilmu pengetahuan dan proses pendidikan, di pihak lain menjadi jembatan untuk memahami hakikat ketuhanan. Sebagaimana hal itu dikemukakan Hasan Langgulung bahwa konsep dasar pendidikan adalah bertumpu pada landasan epistemologis mengenai manusia seutuhnya, yaitu berupa potensi yang terus menerus mendayagunakan fitrah manusia sebagai potensi menuju kehidupan yang lebih baik.
Dalam Islam, normativitas tujuan pentingnya manusian memperoleh aspek pendidikan dikemukakan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 menyebutkan bahwa “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Demikian juga Allah SWT juga memperhatikan eksistensi manusia di muka bumi, setelah mempeoleh cukup pengetahuan maka Allah SWT menempatkan manusia sebagai eksistensi yang kreatif, sebagaimana termaktub dalam surat Hud ayat 61 “Dan Dia yang menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menugaskan kamu untuk memakmurkan”
Atas dasar dua ayat itu pula, Quraish Shihab menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah mahluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman.
Dasar pemikiran di atas tentu saja menuntut umat manusia untuk menempatkan aspek penguasaan ilmu pengetahuan menjadi penting. Pendidikan dalam hal ini, tidak saja menjadi rekomendasi Islam yang bersifat normatif-doktriner, tetapi juga menjadi investasi bagi umat manusia untuk menentukan masa depannya, baik jangka pendek (dunia) maupun jangka panjang (akhirat). Melalui makalah yang sederhana ini, penulis berupaya mengungkap makna pendidikan dalam al-Qur’an. Dengan pendekatan semantik, makalah ini dalam kenyataannya menemukan beberapa istilah al-Qur’an yang memiliki arti dan makna yang berhubungan dengan pendidikan. Cakrawala semantik al-Qur’an mengenai pendidikan inilah, terdapat berbagai variasi dan kandungan makna serta implikasi-implikasi konseptual mengenai pendidikan. Dengan demikian, melalui makalah ini pula didapat informasi mengenai konsep epistemologi pendidikan dalam al-Qur’an.

B. Istilah-istilah al-Qur’an Menyoal Pendidikan
Dalam istilah Indonesia, kata pendidikan dan pengajaran hampir-hampir menjadi kata padanan yang setara (majemuk) yang menunjukan pada sebuah kegiatan atau proses transformasi baik ilmu maupun nilai. Dalam pandangan al-Qur’an, sebuah transformasi baik ilmu maupun nilai secara substansial tidak dibedakan. Penggunaan istilah yang mengacu pada pengertian “pendidikan dan pengajaran” bukan merupakan dikotomik yang memisahkan kedua substansi tersebut, melainkan sebuah nilai yang harus menjadi dasar bagi segala aktifitas proses tansformasi.
Sebagaimana penelusuran yang pernah dilakukan Ahmad Munir, ada empat istilah yang sering digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjuk pada proses pendidikan, yaitu: tarbiyah, ta’lim, ta’dib, dan tazkiyah
.
a.Tarbiyah
Terminologi tarbiyah merupakan salah satu bentuk translitasi untuk menjelaskan istilah pendidikan. Istilah ini telah menjadi istilah baku dan populer dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Dalam pembahasan ini, akan dicari asal-usul kata tarbiyah dalam lingkup kebahasaan. Penelusuran genetika bahasa tersebut, diharapkan dapat mengetahui makna kata tarbiyah dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an kata tarbiyah dengan berbagai bentuk derivasinya terulang sebanyak 952 kali, yang terbagi menjadi dua bentuk; (1). bentuk isim fail (Rabbaani), terdapat dalam al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 79. Bentuk ini terulang sebanyak 3 kali yang semuanya berbentuk jamak (plural) (Rabbaniyyin/ Rabbaniyun) yang juga mempunyai relasi dengan kata mengajar (ta’lim) dan belajar (tadris); (2) Bentuk mashdar (Rabb), terulang dalam al-Qur’an sebanyak 947 kali, empat kali berbentuk jama’ “Arbab”, satu kali berbentuk tunggal, dan selebihnya diidiomatikkan dengan isim (kata benda) sebanyak 141 kali yang mayoritas dikontekskan dengan alam, selebihnya dikontekskan dengan masalah Nabi, manusia, sifat Allah, dan ka’bah. (3) Berbentuk kata kerja (Rabba), bentuk ini dalam al-Qur’an terulang sebanyak 2 kali, yaitu terdapat dalam surat Al-Isra ayat 24, dan surat Al-Syu’ara ayat 18.
Kata “Rabbayani” (mendidik) yang disebutkan dalam surat al-Isra ayat 24 dalam al-Qur’an adalah teladan amal kebajikan yang dilakukan orang tua kepada anaknya yang tak terhingga nilai jasanya, oleh karena itulah Allah mewajibkan kepada anaknya untuk berbakti terhadap kedua orang tuanya dengan cara sebaik-baiknya.
Ada empat unsur yang menjadi bentuk ketaatan dari seorang anak kepada orang tuannya. Keempat unsur ini merupakan bentuk interpretasi sebagaimana termaktub dalam surat al-Isra ayat 24, di antaranya; (1) ihsan, yang berarti bentuk ketaatan kepada orang tua tidak diikat dengan sifat yang ada pada keduanya, apakah ia kafir atau muslim, karena pengabdian tersebut merupakan janji yang harus dilaksanakan; (2) dilarang bertutur kasar, sebagaimana diungkapan oleh kata-kata, uffin yang berarti perbuatan yang kotor, jijik yang harus dijauhi dan tidak boleh membentak, sebagaimana termaktub dalam kata wala tanharhuma. Secara etimologi, kata nahara berarti menggali, mengorek kulit yang dapat mengalirkan darah. Pelarangan tersebut sebenarnya bertumpu pada bentuk perlakuan yang didasarkan pada emosi dan amarah yang menyakitkan, baik secara fisik maupun psikis; (3) anjuran bertutur kata yang baik, sebagaimana diungkapkan dengan kata Qaulan kariman, yang berarti Allah memerintahkan bertutu kata yang baik, sopan, dan penuh penghormatan; (4) sikap ramah, yang tunjukkan dengan kata janah, yang memiliki arti metaforis dan sikap belas kasis sayang anak terhadap orang tua yang sudah renta, sebagaimana belas kasih orang tua kepada anak semasa kecil.

b. Ta’lim
Kata kedua yang memiliki hubungan dengan aspek pendidikan adalah kata ta’lim. Ditinjau dari asal-usulnya kata ini merupakan bentuk masdar dari kata ‘allama yang kata dasarnya ‘alima dan mempunyai arti mengetahui. Kata ‘alima dapat berubah bentuk menjadi a’lama dan ‘allama yang mempunyai arti proses transformasi ilmu, hanya saja kata a’lama yang bermasdar i’lam dikhususkan unuk menjelaskan adanya transformasi informasi secara sepintas, sedangkan kata ‘allama yang masdarnya berbentuk ta’lim menunjukan adanya proses yang rutin dan terus menerus serta adanya upaya yang luas cakupannya sehingga dapat memberi pengaruh pada muta’allim (orang yang belajar). Kata ta’allama (ta’allum) mempunyai makna adanya sentuhan jiwa, hal ini ditunjukan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 31 yang artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”.
Secara teoritis, kata ta’lim ini memiliki dua konsekuensi pemahaman, yaitu; (1) ilmu atau pengetahuan yang diajarkan kepada manusia hanya merupakan pengulangan kembali yang telah dilakukan oleh Allah. Pemahaman ini sebagaimana diungkapkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 4; dan (2) menunjukkan suatu perbuatan yang tidak mungkin dilakukan, sebagaimana dilihat fenomenanya dalam surat Thaha ayat 71. Dua bentuk interpretasi inilah yang melahirkan kesimpulan bahwa ta’lim, merupakan proses pengajaran yang dilakukan seseorang guru kepada peserta didiknya secara rutin, maka harus memberikan pengaruh terhadap perubahan intelektual peserta didik. Perubahan intelektual tersebut tidak berhenti pada penguasaan materi yang telah diajarkan oleh guru, tetapi juga mempengaruhi terhadap perilaku belajar peserta didik, dari malas menjadi rajin, atau dari yang tidak kreatif menjadi kreatif. Berdasarkan kesimpulan inilah, menurut al-Attas, kata ta’lim memiliki pengertian yang lebih sempit dari pendidikan, karena lebih mengacu pada satu aspek saja yaitu pengajaran.

c. Ta’dib
Kata ketiga yang berhubungan dengan pendidikan adalah kata ta’dib yang berasal dari kata “addaba” yang berarti perilaku dan sikap sopan. Kata ini juga berarti do’a. kata “addaba” dalam berbagai konteksnya mencakup arti ilmu dan ma’rifat, baik secara umun maupun dalam kondisi tertentu, dan kadang-kadang dipakai untuk mengungkapkan sesuatu yang dianggap cocok dan serasi dengan selera individu tertentu.
Kata ta’dib merupakan bentuk masdar dari kata addaba yang berarti mendidik atau memberi adab, dan ada yang memahami arti kata tersebut sebagai proses atau cara Tuhan mengajari para Nabi-nya. Naquib al-Attas mengatakan bahwa adab telah banyak terlihat dalam sunnah Nabi, dan secara konseptual ia terlebur bersama ilmu dan amal. Karenanya, istilah ta’dib dalam pendidikan Islam digunakan untuk menjelaskan proses penanaman adab kepada manusia. Melalui proses penanaman ini, Naquib al-Attas menggarisbawahi adanya dua proses pendidikan, yaitu pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud itu bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat mereka dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual serta ruhaniah seseorang.
Makna adab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain, adalah kesopanan, kebaikan dan kehalusan budi. Kata ini terambil dari bahasa Arab yang maknanya antara lain adalah “ pengetahuan dan pendidikan, sifat-sifat terpuji dan indah, ketepatan dan kelakuan yang baik”. Dalam lieratur agama banyak ditemukan uraian tentang adab. Salah satu di antaranya adalah sabda Nabi Saw., “Addabani Rabbi fa ahsana ta’dibi’
Meskipun kata adab tidak disebut dalam al-Qur’an, tetapi ditemukan pujian menyangkut akhlak Nabi Muhammad Saw, yang terdapat dalam surat Al-Qalam ayat 4 yang artinya: “Sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas budi pekerti yang agung”.

d. Tazkiyah
Konsep pendidikan juga diperoleh dalam al-Qur’an melalui penafsiran terhadap kata tazkiyah, yang berarti proses pensucian melalui bimbingan ilahi. Kata tazkiyah dengan berbagai derivasinya berarti tumbuh dan berkembang berdasarkan barakah dari Allah. Makna ini dapat digunakan dalam konteks duniawi maupun ukhrawi. Sehingga kata zakat dalam ajaran Islam berarti sesuatu yang dikeluarkan oleh manusia yang diambil dari hak Allah, diberikan kepada golongan fakir miskin, baik diniati untuk mengharap barakah, untuk membersihkan jiwa, untuk melapangkan dada maupun untuk mendapatkan keberkahan dalam melakukan kebajikan.
Kata tazkiyah terdapat Dalam al-Qur’an di antaranya pada surat an-Nisa ayat 49, al-Taubah ayat 103, dan surat Maryam ayat 13. Dalam bentuk lain, kata tazkiyah berbentuk imbuhan yang berubah menjadi zakka yang dikontekskan dengan nafs. Kata tersebut terulang sebanyak 26 kali, 24 kali dalam bentuk kata kerja, dan 2 kali dalam bentuk masdar yang dinisbahkan kepada manusia, karena manusia dari satu sisi mempunyai potensi untuk menyucikan jiwanya, sebagaimana terdapat dalam firman Allah surat al-A’la ayat 14 yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri”.
Dari berbagai pengungkapan dan penelusuran al-Qur’an terhadap konsep pendidikan, Ahmad Munir menggarisbawahi bahwa keempat istilah di atas memiliki perbedaan dalam hal penggunaannya. Hal ini ia mendasarkan argumentasinya pada model pendidikan yang pernah dialami Rasulullah, di mana proses belajar mengajar yang harus dikedepankan adalah proses penataan diri (tazkiyah), baru diikuti oleh proses ta’lim al-kitab (proses pengajaran kitab atau materi) dan disusul ta’lim (belajar) sesuatu yang belum diketahui oleh peserta didik. Merujuk pada konsep belajar yang dialami Rasul, maka dalam kegiatan proses belajar mengajar ketaraturan jiwa (kesiapan kondisi psikologis) peserta didik menjadi titik tolak pengembangan potensi lain termasuk di dalamnya kemampuan pengembangan intelektual. Oleh karena itu, secara redaksional al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 151, kata tazkiyah didahulukan daripada ta’lim. Hal ini menurut Ahmad Munir, disebabkan efek tazkiyah dapat menjadi stimulasi penyerapan dan penerimaan materi bagi peserta didik.
Dari beberapa istilah yang disebutkan dalam al-Qur’an mengenai pendidikan, sebagaimana telah di paparkan di atas pada hakekatnya adalah memiliki keterkaitan makna yang signifikan, yaitu sebuah nilai yang harus menjadi dasar bagi segala aktifitas proses transformasi. Penggunaan istilah-istilah tersebut secara substansial tidak dibedakan dan bukan merupakan dikotomik yang memisahkan dari makna substansinya. Namun demikian para pakar pendidikan islam berbeda pendapat dalam penggunaan mengenai istilah-istilah pendidikan tersebut di atas. Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi misalnya, mempermasalahkan makna istilah tarbiyah dan ta’lim. Sedangkan Muhammad al-Naquib al-Attas mempermasalahkan istilah tarbiyah dengan ta’dib. Kedua pakar tersebut berbeda pemahaman dalam hal menentukan istilah yang paling tepat untuk maksud pendidikan yang sesuai dengan Islam. Al-Abrasyi lebih cenderung menggunakan istilah tarbiyah, sementara al-Attas menggunakan istilah ta’dib.
Lebih lanjut al-Attas menegaskan, bahwa ketidaksetujuannya terhadap penggunaan istilah tarbiyah sebagai term pendidikan Islam karena menurutnya istilah tersebut muncul relatif baru. Istilah tersebut dipergunakan oleh orang yang mengaitkan dirinya dengan pemikiran modernis. Istilah tarbiyah digunakan untuk mengungkapkan makna pendidikan tanpa memperhatikan sifat-sifat yang sebenarnya, disamping itu istilah tersebut lebih mencerminkan konsep barat yang merupakan terjemahan dari kata education. Tandas Al-Attas bahwa kata tersebut secara konseptual dikaitkan dengan kata latin educare yang berarti menghasilka, mengembangkan potensi untuk mengacu kepada sesuatu yang bersifat fisik dan material.
Mahmud Qambar sependapat dengan al-Abrasyi bahwa ta’lim hanya mengarah kepada pendidikan intelektual dan jasmani. Karenanya ta’lim hanya merupakan bagian dari tarbiyah. Adapun ta’dib tergolong sisi ahlak dalam pendidikan. Senada dengan pendapat ini adalah pendapat Miqdad Yaljun. Sedangkan Mahmud Yunus sebagaimana dikutip Suwito tidak mempermasalahkan istilah-istilah tersebut, tetapi Ki Hadjar Dewantara berpendapat yang senada dengan pendidikan sangat diperlukan manusia, agar secara fungsional manusia mampu memiliki kecerdasan (intelligence, spiritual, emotional) untuk menjalani kehidupannya dengan bertanggung jawab, baik secara pribadi, sosial, maupun profesional al-Abrasyi, Mahmud Qambar, dan Miqdad Yaljun.

C. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Dalam al-Qur’an, banyak terdapat istilah-istilah yang mengarah kepada pendidikan diantaranya adalah tarbiyah, ta’lim, ta’dib dan tazkiyah. Meskipun banyak para pakar pendidikan yang berbeda pendapat mengenai istilah yang tepat yang ada dalam al-Qur’an unutuk pendidikan tetapi tidak berarti merubah makna dari pendidikan itu sendiri. Tarbiyah misalnya lebih mengarah pada pembentukan perilaku, ta’lim atau pengajaran diarahkan pada pengembangan aspek atau domain intelektual, tazkiyah diarahkan pada keterampilan olah diri atau pengendalian jiwa, sedangkan ta’dib lebih menitikberatkan pada pembentukan perilaku dan sikap sopan.
2. Secara epistemologis, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan menurut al-Qur’an adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya
3. Manusia sebagai hamba Allah, di samping ia diberi kelebihan berupa akal juga diberi tugas untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Oleh karenanya manusia membutuhkan pengetahuan dan pendidikan, sehingga ia bisa menjalankan amanat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.
4. Pendidikan sangat diperlukan manusia, agar secara fungsional manusia mampu memiliki kecerdasan untuk menjalani kehidupannya dengan bertanggung jawab, baik secara pribadi, sosial, maupun professional.


D. Daftar Pustaka
Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi, Ponorogo: Ponorogo Press, 2007.
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1995.
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Juz XIV.
John L. Esposito, Islam warna warni, Jakarta: Paramadina, 2004.
Ki Hadjar Dewantara, Dasar-dasar Pendidikan, dalam Karya Ki Hadjar Dewantara, (yogyakarta: Taman Siswa, 1962), Bag I, hlm. 20
Mahmud Qambar, Dirasat Turasiyyat fi al-Tarbiyah al-Islamiyyat, Qathar: Dar al-saqafah, 1985.
Miqdad Yaljun, Ahdaf al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Ghayatuha, Riyad: Mathabi’ al-Qasim, 1986.
Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, 1997.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Maskawaih, Yogyakarta: Belukar, 2004.
Tim Resolusi, “Genealogi UU Sisdiknas dalam Pendidikan Indonesia”, dalam Darmaningtyas, dkk, Membongkar Ideologi Pendidikan Jelajah UU Sisdiknas, Yogyakarta: Ar-Ruzz & Resolusi Press, 2004.
Zakiah Drajat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

Tidak ada komentar: